Wednesday, January 12, 2011

Jerman Keserupan

Ok, jangan salah kaprah dulu, kawan. Ini bukan mengenai seorang berkebangsaan Jerman yang saya kenal, yang suatu ketika lewat di depan bangunan angker, lalu keserupan. Sama sekali bukan itu. Tapi cerita ini mengenai kebegoan mahasiswa KKN yang maksa banget nonton piala dunia, sudah tau di desanya ga ada listrik. Nah, dapat kan Jermannya? Ada apa pula dengan kesurupan?
Mari, jayus di sini.
*
Tersebutlah seorang perempuan imut lagi frustasi berat karena piala dunia. Ia adalah penggemar FC Jerman alias DFB sejak dulu. Ia adalah mahasiswi komunikasi yang lagi KKN pas World Cup. Ia adalah saya. Hehe.
Bukan main betapa dilematisnya posisi saya waktu itu, kawan. Saya benar-benar mau nonton Piala Dunia, apalagi pas Jerman tanding lawan Spanyol. Tapi kondisi yang perlu dipahami di sini, saya dapat lokasi itu desa yang g ada listrik, air, sinyal. Intinya, saya tidak bisa nonton head-to-head Jerman! Kalau begini ceritanya, lebih baik saja berenti KKN saja... (becanda, kawan...)
Tapi... pertolongan Allah datang dengan cara yang tidak diduga (halah, bisa nonton dibilang pertolongan Allah.ckck). Pas lagi survei-surveian ke dusun sebelah, saya dapat kabar, di dusun itu sering nonton bareng Piala Dunia. Caranya, mereka patungan beli BBM, mengisi traktor yang jadi pembangkit listrik, tv nyala, terus nobar deh.
Saya langsung semangat dong. Segera saja saya beli dua jergen bensin, dan mengumpulkan pengikut di posko biar ada yang diajak berantem. Eh, diajak jalan maksudnya. Berhubung saudara-saudara seposko sudah simpati banget sama saya (atau takut saya nangis kali ya), mereka bersedia ikut. Tiga saudara: Ririn, Deliar dan Hari, jelas ikut. Plus Saudari Riska, yang akan menemani saya sebagai perempuan. Lia mau ikut tapi asma akut. Ayu tinggal demi menemani Lia.
Ririn Suryaman Prana Putra, Pak Kordes, sudah ngecek ke dusun sebelah sejak habis isya. Katanya, yang punya rumah buat nobar lagi pergi, tapi besar kemungkinan bisa tetap nonton. Saya bertugas membangunkan semuanya pas pukul 1.30 am. minimal. Pak Desa sama Bu Desa heboh duluan, takut kita jalan malam. Saya disuruh pake mobil aja ke dusun sebelah, biar Ririn nyetir. Saya sih mau-mau saja, kalau jalanan desa g mirip ex-gempur perang gini.
Maka, tidurlah saya dengan gaya ayam, beberapa kali ngeliatin jam rumah yang eksentrik sampai pukul 1.30. Masih rada-rada mimpi pas gedar-gedor kamar para saudara. Mudah saja membangunkan mereka, saya cukup bilang “janganmi pade, nanti jalan sendirianka.” Dasar para lelaki, nalurinya buat jadi satuan pengamanan terpanggil. Hehe.
Riska juga gampang dibangunkan, soalnya dia takut saya sendirian perempuan di tengah para satpam. Ini namanya naluri kewanitaan, ya? Yang jelas, saudara-saudari saya memang juara satu solidnya.
Lalu, di tengah malam gelap gulita yang dinginnya mencekam -503mdpl!, kami berjalan dari dusun Assarajange menuju dusun Uluanra. Tersebutlah Deliar yang pegang senter, memainkan senter dengan mengarahkan sinarnya ke sana-sini –yang di kemudian hari, rupanya menjadi sumber masalah.
Lolongan anjing cukup riuh juga pas malam itu. Mungkin pada kaget melihat manusia di tengah malam, dipikirnya hantu kali.
Tak cukup jauh berjalan, dengan jalanan becek dan menanjak, akhirnya tiba di rumah yang paling tinggi antenanya. Deliar maju untuk memberi salam. Yang aneh tuh, sekalipun Deliar sudah belasan kali beri salam dengan suara baritonnya yang nyaring, tidak ada tanggapan dari dalam rumah.
“Takutki barangkali, dikiraki rampok.” Asumsi Ririn.
“Coba Idho yang beri salam.” Saran Hari.
Sayapun maju ke tangga, membuka sekat, naik dan mengetuk pintu sebelum memberi salam. Kedengaran langkah ragu-ragu dari dalam rumah, pas saya turun, akhirnya sebuah wajah muncul di jendela.
“Muka seribu wajah.” Lirih Ririn saat melihat wajah pemilik rumah.
“Apa itu?” saya tidak mengerti, segera meraih tangan Riska. Di bayangan saya, muka seribu wajah artinya mukanya bisa berubah-ubah (katrok mode on).
“Itu Idho e, yang banyak miripnya. Kayak muka orang autis.” Jelas Ririn.
Saya mencerna penjelasan Ririn. “Oo...,”
“Kenapaki?” tanya si muka seribu wajah.
Ririn menjelaskan maksud kedatangan kami di tengah malam ini. Pemilik rumah segera mengerti kemudian membuka pintunya. Ia turun dan membuka ruangan berdinding bambu di bawah rumah. Di sana ada traktor pembangkit listrik. Hari menyerahkan dua jerigen bensin.
Saya sudah kebayang menonton Jerman, lalu Jerman memenangkan pertandingan, saya pulang dengan gembira... tapi...
“Ini bensin Ade, nda ada solar ta?”
Gedubrak. Rasa-rasanya saya terbanting ke tanah. Pemilik rumah berwajah seribu itu menjelaskan bahwa traktornya cuma bisa nyala pake solar. Sayapun tersenyum pahit. Kalau baru sekarang mau cari solar sudah telat.
Semua wajah, seribu tambah empat berarti, memandang saya menunggu kesimpulan. Bersama lolongan anjing dan siulan angin, dengan putus asa saya berkata: “pulangmeki pade.”
Kamipun berjalan pulang.
*
Malam itu kami berkunjung lagi ke Uluanra. Tapi bukan tengah malam lagi. Kami ke rumah salah seorang warga yang mengadakan acara Mapacci. Lia sebenarnya tidak boleh keluar malam, soalnya asmanya parah. Bisa kambuh ntar. Tapi karena emoh di rumah sendirian, Lia ikut juga.
Walhasil pas pulang, sekitar jam sembilanan, Lia pingsan di tangga. Bagaimanakah rasanya pingsan di tangga? Sakit tau. Kenapa saya bisa tau? Ya, inilah akibat dari kesokpahlawanan saya, mau menahan Lia limbung malah ikutan terpelanting. Hehe.
Hari buru-buru turun dan mengangkat Lia ke atas rumah. Ngomong-ngomong ini kali kedua Lia pingsan, tapi yang pertama tidak dramatis kaya gini sih. Kamipun segera menyelimuti Lia dengan empat lapis selimut.
Lia sadar g lama kemudian, matanya yang kosong memandang berkeliling pada sesuatu yang tak nampak. Ayu bisik-bisik ke saya: “liat apa si Lia, Idho?”
Saya mengedikkan bahu, masih belum selesai shock karena terguling di tangga tadi. Tiba-tiba Riska ikutan aneh. Dia terus menerus bergidik dan menyembunyikan wajahnya.
Suasananya. Atmosfirnya. Kondisinya... ga salah lagi kawan, kita lagi dikepung jin. Saya bisa tau, soalnya di pesantren dulu sering begini, teman-teman mendadak aneh. Saya dan Ayu segera mengambil Al-Qur’an buat baca As-Shoffat. Benar saja kawan, pas saya ngayat, si Lia langsung menatap saya kejam, berteriak minta saya diam. Suaranya bukan suara Lia lagi.
Hari, Pak Desa dan Ririn menahan Lia yang berontak sana-sini. Riska komat-kamit aneh. Ibu Desa menangani Riska. Deliar hendak ikut membantu, tapi tiba-tiba Lia teriak: “jauh-jauhko kau! Nda kusuka sekaliko!”
Deliar akhirnya mundur, cuma bisa duduk di ruang tamu, membantu kami dengan doa. Saya tidak ngerti kenapa jinnya ga suka sama Deliar, Deliar anak baik-baik kok.
“Kenapa ganggu orang sini?!” tanya Pak Desa pada Lia.
“Ini orang baru semua lewat-lewat di jembatanku tengah malam. Ndak pernah ada orang lewat di situ tengah malam!” jinnya bersedia menjelaskan.
Ooo, saya ngeh. Ternyata jinnnya ngamuk karena diganggu waktu istirahatnya pas kami ke dusun sebelah dulu.
“Apalagi itu sanae! Na senterka!” tambah si jin. Memandang Deliar yang di kejauhan masih berdoa-doa.
Cie, jinnya sensitif amat, disenter aja marah.
Malam inipun jadi panjang, soalnya jinnya sering datang tiba-tiba ke Lia. Suara saya sudah serek mengaji. Ayupun demikian. Tapi ya, ini salah kita juga sih. Atau sebenarnya salah saya, ya? Astaghfirullah al-adziim.
Pelajaran moral yang bisa dipetik di sini, jangan maksa nonton bola kalo ga mau teman kesurupan. Terimakasih telah membaca cerita jayus ini. Bintang Rubilah yang maksa-maksa saya nulis ini. Haha.

No comments: